Sebuah email dari seorang sahabat.
Sebuah teriakan ketidak-puasan menyeruak di hari menjelang malam. Seperti bulan-bulan sebelumnya selama 5 tahun ini, setiap akhir bulan adalah hari yang paling berat untuk pulang ke rumah. Subandi yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil, menekurkan wajahnya ke lantai. Teriakan, keluhan, dan wajah masam menakutkan istrinya senantiasa muncul rutin setiap bulan. Entahlah, mengapa perasaannya tidak menjadi bebal, melainkan senantiasa teriris-iris semakin perih mendengarkan rutinitas sepulang menerima gaji.
Aku tidak mengerti, jerit Subandi dalam hati.
Ketika dua bulan lalu, kakak iparnya datang dan memberikan tambahan uang belanja kepada istrinya. Rona wajah yang dulu membuat Subandi kepincut, merekah lebar menghiasi wajah istrinya yang memang cantik alami. Subandi ingat betul, bahwa uang yang diberikan itu tidak lebih dari 25 persen gaji yang dibawanya setiap akhir bulan. Tapi mengapa, uang sekecil itu mampu membuat suasana hati dan wajah istrinya demikian gembira, merona penuh kesyukuran? Bukankah, selama 5 tahun berstatus ipar, sang manager keuangan itu baru kali ini memberikan hadiah cash Rp. 500.000 kepada adik yang paling dibanggakannya itu?
Atau mengapa wajah istrinya tidak se-merona ketika dia mendapatkan selembar uang Rp. 100.000 dari dalam sabun mandi?
Atau mengapa ungkapan terima kasih yang panjang tidak pernah terlontar padanya, seperti ketika Pak RT memberikan ‘uang kadeudeuh’ bagi petugas posyandu?
Subandi kemudian terhanyut dalam doa pengaduan di sujud terakhir Shalat Isya-nya. Sudah puluhan kali, Subandi bersimbah air mata mengadukan ketidak-adilan yang tidak dapat dipahaminya. Subandi menangis dalam sujud, memohonkan terbangunnya pengertian baru pada Yang Maha Mengetahui.
Eureka! Eureka!
Subandi berteriak kegirangan. Hampir saja dia membangunkan istrinya yang sedang terlelap kusam. Subandi sumringah luar biasa, ketika selesai salam ada ilham yang berkelebat. Ya, perbedaan sikap diametral istrinya itu disebabkan oleh dua kata : kewajiban dan hadiah.
Istrinya menerima uang gaji hasil memeras keringat dan penukaran pengabdian Subandi pada atasannya sebagai UANG KEWAJIBAN. Sedangkan uang yang hanya sekali masing-masing Rp. 500.000, Rp. 100.000 dan Rp. 65.000 dari posyandu itu adalah UANG HADIAH. Sebagai suami, Subandi berkewajiban memberikan uang nafkah bagi keluarganya. Sedangkan sebagai saudara dan orang lain, uang yang diberikan kepada istrinya itu adalah hadiah. Ini bukan masalah jumlah uang, tetapi masalah status yang memberi. Aha…!
Kalau begitu, pikir Subandi. Dia akan mendapatkan keramahan yang meluluhkan hati itu, jika dia memberikan uang setiap bulan sebesar Rp. 2.250.000 kepada Neng Lia Sumirah, jika status dia bukan suaminya?! Toh selama 6 tahun mengenal wanita itu, berapa pun uang yang diberikan padanya selalu diiringi dengan rasa tulus yang dalam serta rasa ikhlas yang tak bersyarat!
—
Sahabat-sahabat anggota milist yang budiman,
Seandainya saja kita menganggap bahwa rezeki, udara, sehat, keamanan, dan lain-lain sebagai hadiah dari-Nya; bukan kewajiban-Nya. Pasti mudah bagi kita untuk bahagia dan berurai air mata syukur.
Seandainya saja para istri menganggap bahwa setiap rupiah yang dibawa ke tengah keluarga sebagai hadiah dari sang kepala keluarga, mungkin sulit menemukan pertengkaran dan muka masam.
Seandainya saja setiap anak menganggap bahwa atas rupiah uang yang digenggamnya adalah hadiah dari orang tuanya, akan dipenuhi negara ini oleh anak-anak penuh hormat dan bakti.
Mohon Anda ingat, hanya perasaan mendapatkan hadiah yang akan menjamin keberlangsungan dan penambahan atas kebaikan apa pun yang selama ini telah Anda dapatkan.
*Hanya Jika Engkau Bersyukur, Akan KU-gandakan…*
Aku tidak mengerti, jerit Subandi dalam hati.
Ketika dua bulan lalu, kakak iparnya datang dan memberikan tambahan uang belanja kepada istrinya. Rona wajah yang dulu membuat Subandi kepincut, merekah lebar menghiasi wajah istrinya yang memang cantik alami. Subandi ingat betul, bahwa uang yang diberikan itu tidak lebih dari 25 persen gaji yang dibawanya setiap akhir bulan. Tapi mengapa, uang sekecil itu mampu membuat suasana hati dan wajah istrinya demikian gembira, merona penuh kesyukuran? Bukankah, selama 5 tahun berstatus ipar, sang manager keuangan itu baru kali ini memberikan hadiah cash Rp. 500.000 kepada adik yang paling dibanggakannya itu?
Atau mengapa wajah istrinya tidak se-merona ketika dia mendapatkan selembar uang Rp. 100.000 dari dalam sabun mandi?
Atau mengapa ungkapan terima kasih yang panjang tidak pernah terlontar padanya, seperti ketika Pak RT memberikan ‘uang kadeudeuh’ bagi petugas posyandu?
Subandi kemudian terhanyut dalam doa pengaduan di sujud terakhir Shalat Isya-nya. Sudah puluhan kali, Subandi bersimbah air mata mengadukan ketidak-adilan yang tidak dapat dipahaminya. Subandi menangis dalam sujud, memohonkan terbangunnya pengertian baru pada Yang Maha Mengetahui.
Eureka! Eureka!
Subandi berteriak kegirangan. Hampir saja dia membangunkan istrinya yang sedang terlelap kusam. Subandi sumringah luar biasa, ketika selesai salam ada ilham yang berkelebat. Ya, perbedaan sikap diametral istrinya itu disebabkan oleh dua kata : kewajiban dan hadiah.
Istrinya menerima uang gaji hasil memeras keringat dan penukaran pengabdian Subandi pada atasannya sebagai UANG KEWAJIBAN. Sedangkan uang yang hanya sekali masing-masing Rp. 500.000, Rp. 100.000 dan Rp. 65.000 dari posyandu itu adalah UANG HADIAH. Sebagai suami, Subandi berkewajiban memberikan uang nafkah bagi keluarganya. Sedangkan sebagai saudara dan orang lain, uang yang diberikan kepada istrinya itu adalah hadiah. Ini bukan masalah jumlah uang, tetapi masalah status yang memberi. Aha…!
Kalau begitu, pikir Subandi. Dia akan mendapatkan keramahan yang meluluhkan hati itu, jika dia memberikan uang setiap bulan sebesar Rp. 2.250.000 kepada Neng Lia Sumirah, jika status dia bukan suaminya?! Toh selama 6 tahun mengenal wanita itu, berapa pun uang yang diberikan padanya selalu diiringi dengan rasa tulus yang dalam serta rasa ikhlas yang tak bersyarat!
—
Sahabat-sahabat anggota milist yang budiman,
Seandainya saja kita menganggap bahwa rezeki, udara, sehat, keamanan, dan lain-lain sebagai hadiah dari-Nya; bukan kewajiban-Nya. Pasti mudah bagi kita untuk bahagia dan berurai air mata syukur.
Seandainya saja para istri menganggap bahwa setiap rupiah yang dibawa ke tengah keluarga sebagai hadiah dari sang kepala keluarga, mungkin sulit menemukan pertengkaran dan muka masam.
Seandainya saja setiap anak menganggap bahwa atas rupiah uang yang digenggamnya adalah hadiah dari orang tuanya, akan dipenuhi negara ini oleh anak-anak penuh hormat dan bakti.
Mohon Anda ingat, hanya perasaan mendapatkan hadiah yang akan menjamin keberlangsungan dan penambahan atas kebaikan apa pun yang selama ini telah Anda dapatkan.
*Hanya Jika Engkau Bersyukur, Akan KU-gandakan…*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar