Kamis, Juni 11, 2009

Kisah Ujang si anak perkasa


Sabtu itu kebetulan jatah libur, jadi bisa ajak anak jalan-jalan pagi. Karena rumahku dekat sekolahan & kalau tiap sabtu jadwal anak-anak SD senam di lapangan depan sekolah, maka kami menuju kesana. Anakku senang sekali memperhatikan anak-anak yang sedang senam diantara pagar kawat sambil sesekali mengikuti gerakannya dengan anak-anak balita lainnya yang ikutan nonton diluar pagar sambil disuapin ibunya (maklum di kampung enggak ada taman bermain).

mereka berbaris 6, memanjang kebelakang, mengikuti gerakan para seniornya yang berbaris diatas podium permanen yang terbuat dari tembok (mungkin panggung ini fungsinya sebagai pentas di hari kenaikan kelas).

Sementara 2 orang gurunya memperhatikan dari pintu kelas sambil ngobrol ngalor-ngidul. Di baris paling pinggir, tempat kami menonton, nampak beberapa anak laki-laki senam dengan asal-asalan & sambil bercanda malah terkadang saling dorong, dan satu diantaranya dengan badan bongsor.


walaupun usianya baru 12 tahun, dia punya tubuh yang kekar, bahkan sudah ada bayangan hitam di bawah hidung besarnya, bakal kumis kelak.
Rambutnya lurus, tebal dan agak sedikit gondrong dengan bekas cukuran kurang rapi. dia tidak memakai baju olah raga seperti beberapa anak lainnya, tetapi memakai kemeja seragam putihnya yang sudah berubah warna menjadi kekuningan dan kelihatan kekecilan, tapi dia senam sambil tertawa riang.

Dia adalah anak tetanggaku yang menjadi juara umum 2 matematika tingkat Kabupaten. Padahal kesehariannya dia disibukkan dengan kerja kerasnya untuk menghidupi kedua orang tuanya, nenek, dan ketiga adiknya.

Mereka bertujuh tinggal di rumah kontrakkan reyot di pinggir sawah di ujung desa, disebelah kiri rumahnya terletak sumur berlumut bertembok pendek dengan kedua tiang bambu untuk menyangga kerekan & karet timba diatasnya, dan sebuah ember plastik bekas cat yang disambung pipa bambu sebagai corong menuju bak di dalam kamar mandi.

Dari umur 6-tahunan dia bertugas menimba air untuk keluarganya. Kadang miris melihat anak sekecil itu harus terhuyung-huyung mengangkat ember berat berisi air yang harus di tuangkan ke dalam corong yang baginya lumayan tinggi itu.
Pernah seorang nenek tetangga, ketika melihat kejadian itu spontan berteriak
"Jang, kamu jangan nimba, gimana kalau kamu kebawa ember ke dalam sumur ..!!"
"Jaka....lihat tuh .. anakmu nimba air, gimana kalau dia kecemplung" katanya ke arah bapak ujang yang sedang duduk di depan rumah.

Jaka, bapaknya ujang hanya menyeringai tanpa beranjak dari tempat duduknya, (lha..wong dia yang nyuruh kok ... gimana mau ngelarang?)
akhirnya nenek itupun ngeloyor pergi dari hadapannya sambil ngomel panjang-pendek.

Terkadang punggung atau kaki Ujang terkena tendangan telapak kaki bapaknya kalau dia sedang kesal, sambil sebelah tangannya diangkat keatas dan diseret paksa ke sumur, entah karena Ujang malas nimba karna berat atau malas memandikan adiknya kala itu, dan Ujang cuman bisa nangis menjerit sambil meronta-ronta, kasian sekali dia.
Tetapi tak satupun tetangga yang bisa menolongnya, karena bapak Ujang termasuk orang yang keras, pernah dinasehatin sama tetangga sebelahnya, tapi dia malah marah & tidak pernah lagi mau bertegur sapa dengan Bapak itu.

Keluarga Jaka memang baru pindah ke kampung kami saat Ujang masih dalam kandungan dan konon katanya Ujang bukan anak kandung Jaka, makanya dia memperlakukan Ujang sekehendak hatinya tanpa perasaan, mungkin Ibu Ujang dinikahinya saat mengandung.

Jaka, bapak Ujang adalah seorang pengangguran dan punya penyakit bengek, jadi sehari -harinya yang menjadi tulang punggung keluarga adalah ibunya sebagai buruh cuci & kadang menjajakan jualan masakan tetangganya ke kampung sebelah.

Kala ibunya tidak bisa kerja karena melahirkan, Ujanglah pengganti tulang punggung keluarga, dia biasa nongkrong di pemancingan untuk sekedar bantu-bantu disuruh ini-itu, kadang para pemancing menyuruh dia membelikan rokok, kopi atau indomie rebus & dia dikasih uang jajan yang dia kumpulkan. Kalau sudah ashar dia pulang untuk memberikan uang kepada ibunya untuk membeli bahan makanan mereka hari itu, sebelum magrib barulah dia pulang kerumah.

Terkadang ada juga tetangganya yang memberikan nasi, sayuran & lauk pauk sisa untuk keluarga Ujang, tapi karena kondisi tetangganya tidak jauh lebih baik dari Ujang maka hal itu jarang terjadi.

Sehari kadang-kadang dia bisa mendapat 10 sampai 20 ribu, uangnya dia belikan beras & lauk pauk, kalau ada sisa baru selepas Sholat magrib Ujang mengajak kedua adiknya neneng & Ade jajan ke warung yang masing-masing diberi jatah 1.000 rupiah, serta membeli napasin untuk ayahnya, obat nyamuk untuk ibunya & wajit (makanan manis) untuk neneknya.

Kegiatan itu terus berlangsung hingga sekarang.
Kala satu persatu adiknya lahir & tanpa seorang tetanggapun yang tahu kalau ibunya Ujang melahirkan, biasanya bapak Ujang memanggil dukun beranak sendirian & tau - tau keesokan harinya tatangga mengetahui dari cerita anaknya kalau ibunya sudah melahirkan atau dari jejeran jemurannya yang menjemur pakaian bayi.

Hingga ketika ibunya hamil lagi adiknya yang ke-4, ibunya tidak pernah bercerita kepada siapapun, bahkan kepada mertuanya sendiri dia tidak mau mengakui kalau dia hamil, walaupun perutnya sudah terlihat buncit.

Pengurus PKK & Posyandu setempat pernah mampir kerumahnya untuk mengajak ibu Ujang ke Posyandu memeriksakan kandungannya, padahal jarak Posyandu kerumahnya hanya beberapa meter saja, tapi dia selalu menolak & mengatakan kalau dia tidak hamil.

Hingga suatu hari, Bapak Ujang malam-malam mengetuk rumah kader posyandu minta tolong diantar kerumah sakit karena istrinya mengalami pendarahan & dukun beranak tidak sanggup menanganinya.

Maka berangkatlah mereka ke rumah sakit karena kondisi ibu Ujang sangat memprihatinkan, dia kurang gizi & kurang darah sehingga harus transfusi darah.
Hingga 3 hari Ibu Ujang dirawat di rumah sakit atas biaya jamkesmas.

Sampai harinya mereka pulang kerumah, tak ada sepatah katapun ucapan terima kasih yang keluar dari mulut bapaknya Ujang kepada ibu-ibu kader posyandu. Padahal ibu-ibu inilah yang membantu mengurus semua keperluan ibu Ujang hingga semuanya gratis. Maklum ibu-ibu, hal ini menjadi bisik-bisik diantara mereka & menyesalkan kenapa Ibu Ujang tidak pernah mau di periksa bidan di posyandu sebelumnya.

4 bulan kemudian adik bungsu ujang tumbuh menjadi bayi yang cantik & montok, dengan rambut yang hitam lebat, mata terbuka lebar dengan bulu mata lentik, hidung mancung & mulut mungilnya, yang bikin gemes ibu - ibu yang lain kalau kebetulan di gendong ibunya di depan sekolahan atau dibawa main di teras rumah tetangga.

Tetapi sudah seminggu ini ibunya Ujang tidak pernah main keluar rumah, Hingga suatu hari lewat seorang wanita muda berpakaian bagus, berkulit kuning bersih, dengan mata sipit & rambut lurusnya di cat pirang datang sambil menggendong bayi yang mirip adik Ujang, tapi dengan pakaian bagus berwarna merah muda serasi dengan bando yang bertengger di rambut hitamnya & nampak memakai perhiasan lengkap (kalung,anting, gelang & cincin yang semuanya terbuat dari emas).
bersama seorang lelaki muda, mungkin suaminya dengan pakaian rapi, potongan rambut mirip Tau ming tse & sepatu hitam mengkilat.
Sejak saat itu kita tidak pernah lagi melihat adik bungsu Ujang

Menurut pengakuan ibunya, bayinya di adopsi kerabat kakek Ujang dari fihak bapaknya. Kakek Ujang adalah warga keturunan Tiong Hoa yang diusir & tidak diakui keluarga besarnya karena menikahi pembantunya, yaitu nenek Ujang.
Pasangan muda itu dari keluarga berada & sudah 8 tahun menuggu hadirnya buah hati dalam kehidupan mereka tapi tak kunjung datang, mereka sudah berobat kemana-mana tapi hasilnya nihil, konon katanya pernah membiayai seorang ibu hamil yang berjanji untuk memberikan bayinya kelak saat lahir, namun ibu itu ingkar janji.

Maka datanglah mereka kerumah Ujang untuk mengadopsi adiknya. Sepertinya ibu Ujang bangga sekali dengan anak bungsunya, dia selalu bercerita ke para tetangga, bahwa bayinya sudah hidup enak, semua perlengkapannya baru & bagus-bagus.

Aku cuman bisa mengelus dada mendengar semua ceritanya, karena yang aku tahu pasangan muda itu berbeda keyakinan dengan kami, bagaimana masa depan anaknya? tegakah dia membiarkan anaknya hidup diluar ajaran Islam? dan menukar akidah anaknya dengan rupiah? na udzubilahimin dzalik .... semoga hal ini tidak akan pernah terjadi pada anak cucuku kelak.

Dan setelah hari itu, dia bisa membuka warung kecil-kecilan dengan modal yang diberikan pasangan muda tsb, Disatu sisi beban Ujang menjadi berkurang tetapi di sisi lain adik bungsunya menjadi korban keadaan.

"abis.....abis..." celoteh anakku sambil menarik-narik bajuku membuyarkan lamunanku
oh... rupanya senam sudah selesai, musiknya sudah dimatikan & anak-anak mulai berlarian masuk kedalam kelas masing-masing.

Aku menggendong anakku, mendekapnya & mulai melangkah pergi.

"anakku, apapun yang terjadi Ibu akan selalu disisimu, dan kelak.. kala kau sudah dewasa, janganlah menutup mata hatimu karena silaunya harta"..... gumamku dalam hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar